Servant Leadership: Refleksi di tengah krisis
- R.
- Sep 11, 2020
- 6 min read
Updated: Oct 26, 2020
Para servant leaders pengikut Kristus di berbagai bidang ataupun industri saat ini sedang berada di tengah situasi yang mungkin hanya terjadi sekali seumur hidup. Ini periode pandemi yang penuh tantangan, dan kita diundang untuk menjadi kesaksian akan Yesus yang hidup, peduli, bahkan hadir di tengah-tengah kita.

Waktu manusia mengalami krisis penderitaan, Allah tidak memberi penjelasan dengan kata-kata. Allah tidak menghilangkan penderitaan dari dunia ini. Yang Allah lakukan adalah mengutus Yesus untuk hadir berjalan bersama manusia, bahkan ikut menderita hingga wafat, lalu bangkit dan memperlihatkan adanya kehidupan yang baru! Dengan demikian, bukan saja Ia memberikan makna yang baru pada penderitaan, Ia bahkan menguduskan penderitaan itu sendiri, dan menjadikannya jalan menuju hidup yang baru.
Sebagai servant leaders, kita diundang untuk menjadi seperti Yesus, yang hadir berjalan bersama sesama – bagi kita ini berarti bersama mereka yang berada dalam area tanggungjawab kita: tim kita, anggota komunitas kita, atau para sahabat yang sedang kita dampingi. Paus Fransiskus berulang kali menekankan pentingnya “to walk alongside” atau berjalan berdampingan dengan orang-orang di sekitar kita, untuk terus menerus menawarkan kasih dan kerahiman Allah. Bagaimana kita bisa melakukan ini dengan baik?
7 Aspek Refleksi
Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu... (Mrk 10:43)
Berikut in beberapa wawasan untuk membantu kita:
1. Leadership, bukan react-ship
Tugas kita bukan saja “to react” – atau bereaksi, tapi “to lead” - atau memimpin para sahabat di dalam tanggungjawab kita. Di tengah situasi ini, sebagian orang mungkin cemas atau panik, sebagian kurang peduli, dan sebagian lagi bingung harus bagaimana. Seorang pemimpin sering terjebak dalam pengelolaan yang reaktif saja. Artinya, ia hanya bereaksi terhadap gejala sesaat yang terlihat di permukaan, bahkan lebih parah lagi kalau reaksinya adalah cermin dari emosi pribadinya semata. Padahal, ia perlu berpikir jauh ke depan, akan kemungkinan-kemungkinan dampak yang bisa terjadi, serta tantangan-tantangan dan bagaimana mengatasinya.
Untuk itu, servant leaders selalu perlu memeriksa hati mereka, dan memperluas wawasan mereka. Servant leaders tidak diam saja, tidak menunggu saja, tapi membuka mata dan telinga agar memahami situasi jangka panjang, dan bijak berinisiatif dalam membuat keputusan bagi sesama.
Refleksi:
1. Aku hanya menunggu keputusan pemimpinku, atau aktif berusaha memahami situasi dan mengusulkan kebijakan demi kebaikan sesama?
2. Di tengah situasi ini, kebijakan atau ide apa yang bisa aku usulkan demi pertumbuhan iman dan kesejahteraan para sahabat di area tanggungjawabku?2. Lakukan diskresi komunal
Situasi krisis seringkali memperlihatkan karakter asli kita, dan terungkap pada pilihan-pilihan yang kita buat. Di bawah tekanan, akan terlihat jelas siapa yang mudah stress, baper, impulsif, dan siapa yang tetap tenang sambil mempertimbangkan pilihan-pilihan yang ada. Dalam semangat mendahulukan kehendak Allah, ajaklah beberapa orang dengan pengetahuan dan pengalaman iman yang dewasa untuk ikut membantu dalam menentukan keputusan. Dengan demikian, kita semakin terbuka pada tuntunan Roh Tuhan, bukan saja lewat kepekaan pribadi, tapi juga melalui orang lain.
Refleksi:
1. Apa yang seringkali membuatku “malas” untuk berkonsultasi dengan servant leader lain?
2. Apa keputusan terkait para sahabat di area tanggungjawabku, yang perlu aku konsultasikan dengan servant leader lain?3. Berkurban demi sesama
Gereja perdana tidak dikenal sebagai komunitas yang menyimpan banyak makanan dan sarana kesehatan, tapi yang membagikan milik mereka demi kesejahteraan seluruh komunitas. Bunda Teresa tidak dikenal sebagai orang kudus karena menumpuk kebutuhan hidup biara sebanyak-banyaknya, tapi justru dengan berkurban membagikannya kepada orang miskin yang membutuhkan. Seorang servant leader tidak takut untuk mengurbankan dirinya demi kebaikan sesama.
Refleksi:
1. Apa yang hari-hari ini aku hindari karena tidak nyaman bagiku, padahal perlu demi kebaikan orang lain?
2. Apa resiko yang perlu aku ambil, yang merugikanku tapi membawa kebaikan bagi para sahabat di area tanggungjawabku?4. Berkomunikasi yang membangun
Di masa krisis, arus informasi dan komunikasi cenderung messy atau berantakan. Berita sangat banyak, simpang siur, dan sukar dikenali mana yang kebenaran, mana yang opini pribadi, dan mana yang tipuan. Di tengah kekacauan ini, seorang servant leader berkomunikasi dengan (1) tujuan kebaikan bagi penerima pesan, (2) konten yang benar, (3) struktur penyampaian yang jelas, (4) bahasa yang bersahabat, serta penggunaan (5) media yang tepat. Kelalaian dalam 5 hal ini bisa mengakibatkan salah paham, dan membuahkan hasil yang justru semakin merusak. Dalam situasi krisis seperti peperangan misalnya, salah satu strategi mengalahkan musuh adalah dengan cara melumpuhkan jalur komunikasi mereka. Maka, servant leaders perlu memperhatikan bagaimana ia berkomunikasi, agar sungguh bisa membangun yang lain.
Refleksi:
1. Apa saja pesan dan metode penyampaian berita dalam situasi krisis ini, yang membawa resah dan menimbulkan kebingungan?
2. Apa komunikasi pesan yang berbeda, yang bisa aku lakukan untuk membangun para sahabat di area tanggungjawabku?5. Cari kesempatan untuk menawarkan kasih
Setiap situasi krisis selalu membuka kesempatan untuk menawarkan kasih. Selalu! Seorang servant leader tergerak untuk mencari dan memanfaatkan kesempatan ini, sehingga orang-orang yang ia kenal merasa dikasihi dan diperhatikan. Ini bisa berupa sapaan sederhana kepada orang-orang yang sudah lama tidak disapa, sambil menanyakan keadaannya. Ini bisa juga berupa sebuah inisiatif karya yang berdampak luas dan jadi berkat bagi banyak orang. Yang pasti, kesempatan ini selalu ada. Hanya saja, kita mau memanfaatkannya atau tidak.
Refleksi:
1. Apakah aku mengenali 3 kebutuhan utama orang-orang di tengah situasi krisis ini?
2. Kasih dalam bentuk apa yang akan aku tawarkan bagi para sahabat di area tanggungjawabku?6. Berharap, bukan optimis
Mengutip seruan Ignatius Kardinal Suharyo beberapa waktu lalu “…Harapan tidak sama dengan optimisme. Optimisme itu adalah semangat yang didasarkan pada perhitungan manusiawi saja; menurut perhitungan saya setelah 3 bulan keadaan akan membaik. Kalau ternyata tidak, optimisme hilang, dan muncul pesimisme. Harapan itu berbeda. Harapan itu landasannya iman bahwa Allah yang telah memulai karya-Nya yang baik, akan menyelesaikannya juga… pada waktunya nanti juga akan memulihkan keadaan kita. Kita diajak untuk semakin teguh dalam harapan.” Seorang servant leader berkarya di tengah-tengah niat baik dan rencana manusia, tapi mempercayakan hidupnya pada kuasa yang jauh lebih besar, yaitu janji-janji penyertaan dan kebaikan Allah yang tidak pernah gagal.
Refleksi:
1. Apa yang selama ini menjadi indikator naik-turun-nya emosiku: hasil pekerjaan manusia, atau janji Allah sesuai Sabda-Nya?
2. Apa yang akan kulakukan bagi para sahabat di area tanggungjawabku, agar mereka berharap pada janji Allah – dan bukan optimis pada perhitungan manusia?7. Melekat pada Sang Pemegang Kendali
Pepatah mengatakan “If you don’t control your emotion, your emotion will control you” – kalau kita tidak mengendalikan emosi kita, maka emosi kita yang akan mengendalikan kita. Sebagai servant leader, kita tidak luput dari naik turun-nya emosi saat melalui periode krisis. Kita ikut cemas, bingung, berduka, dan dengan segala situasi itu, tim kita bergantung pada keputusan yang kita buat. Sakit kepala, sakit hati, dan sakit perut adalah hal biasa bagi pemimpin.
Pesan Paus Fransiskus sesaat sebelum memberi berkat Urbi Et Orbi bisa menjadi penghiburan dan kekuatan bagi kita. Bercerita tentang kisah para murid di perahu saat badai dan Yesus yang tidur, Paus berkata “While his disciples are quite naturally alarmed and desperate, he stands in the stern, in the part of the boat that sinks first.” Yesus berada di buritan (stern), yaitu bagian belakang perahu, tempat kendali berada, dan juga tempat yang biasa tenggelam terlebih dahulu. Kisah ini mengingatkan kita bahwa pemegang seluruh kendali itu bukan badai, bukan para rasul, tapi Yesus. Dia pegang kendali atas seluruh situasi, dan dia berjaga di tempat yang tenggelam terlebih dahulu. Seakan Dia mau menyampaikan pesan “Badai ini harus menenggelamkan Aku dahulu, baru kalian” Lalu Dia berdiri dan memerintahkan badai untuk berhenti, lalu danaupun menjadi teduh.
Servant leaders sadar sepenuhnya bahwa mereka bukan pemegang kendali, dan bukan penyelamat dunia. Mereka semua juga diundang untuk mempercayakan seluruh krisis hati dan hidup mereka kepada Yesus. Servant leaders yang sejati sungguh melekat pada Yesus, yang menjadi andalan, harapan, dan tempat berteduh yang pasti.
Refleksi:
1. Seberapa sering aku meluangkan waktu berdua bersama Yesus, tanpa orang lain, hanya bercerita tentang berbagai situasi hidup dan hatiku?
2. Apa yang bisa aku lakukan agar para sahabat di area tanggungjawabku bukan hanya berdoa atau baca Kitab Suci, tapi punya relasi pribadi yang intim dengan Yesus?Para rahib dan rubiah Kartusian memiliki semboyan “Star crux dum volvitur orbis” – artinya kira-kira “Salib tetap teguh sementara dunia berputar.” Di tengah situasi krisis apapun, pegangan kita yang pasti adalah Yesus sendiri. Di taman Getsemani, Dia telah melewati krisis yang terbesar sepanjang sejarah, krisis yang menentukan hidup kekal dari milyaran umat manusia, krisis yang Ia jalani melalui salib, dan Dia menang karena taat pada Bapa-Nya. Maka hanya kepada-Nya sajalah kita mempercayakan seluruh situasi krisis, agar kita menjadi servant leaders yang tangguh dan setia melayani serta mengelola di dalam Dia, yang selalu menjadi perpanjangan kasih-Nya bagi para sahabat di area tanggungjawab kita. Setiap servant leaders dalam arti tertentu ada gembala bagi kawanan yang ia pimpin dan layani. Semoga seruan Paus Fransiskus ini menjadi inspirasi bagi kita untuk jadi servant leaders yang menampakkan wajah kasih Allah.
“Let’s pray for this, that the Holy Spirit may give to pastors the ability for pastoral discernment so that they might provide measures which do not leave the holy, faithful people of God alone, and so that the people of God will feel accompanied by their pastors, comforted by the Word of God, by the sacraments, and by prayer.” (Pope Francis, 2020 Mar 13)




Comments